Kabarborneoraya.com : Banjarmasin Peradaban sebuah bangsa tak ditentukan oleh kekayaan alamnya, tidak juga oleh kecanggihan teknologi semata tetapi oleh keberadaan anak bangsa yang taat hukum. Inilah inti pandangan sahabat saya, Winardi Sethiono, seorang tokoh sosial yang tetap teguh berkiprah di usia lebih dari 70 tahun. Dalam penghayatan beliau, taat hukum bukan sekadar kepatuhan administratif, tapi fondasi moral kehidupan berbangsa.
Sebuah pendapat sangat bernas dan strategis, sebagai sebuah solusi jika bisa menghubungkan hukum, baik sisi pembuatan hukum maupun sisi penerapannya yang menjadikan hukum sebagai instrumen tertib sosial dengan dakwah sebagai sosialisasinya, karena dakwah merupakan cara terbanyak yang digunakan sebagai pembentuk moral masyarakat.
Mengintegrasi dakwah untuk mengarahkannya dalam membentuk budaya taat hukum, sejalan dengan nilai dasar keadilan, kemaslahatan dan amanah, sebuah dasar nilai yang akan menjadi pendorong kuat, jika dilakukan dari proses berisi teladan dan pembiasaan. Bukankah kitab suci memerintahkan berlaku adil karena keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan. Amanah sering disebut sebagai ciri orang beriman
Jika hukum dianggap sekadar tulisan, ia akan kehilangan ruhnya. Hukum butuh dakwah, butuh narasi yang menyeberangkan pasal menjadi akhlak, mengubah aturan menjadi budaya. Di sinilah letak strategisnya dakwah sosial, bukan sekadar menyeru kebaikan dalam ruang hampa, tetapi membumikan kesadaran hukum agar menjadi kebiasaan kolektif yang adil, amanah, dan maslahat.
Kita bisa belajar dari teladan tertinggi, Nabi Muhammad SAW. Beliau menegakkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu. Tak ada jabatan, kekuasaan atau garis keturunan yang berada di atas hukum. Pesan ini harus dihidupkan kembali melalui dakwah yang kontekstual, tersambung dengan realitas sosial dan menjawab problem zaman, bukan sekadar mengulang ulang pesan normatif tanpa tindakan nyata.
Konteksnya yang harus dipahami oleh seorang pendakwah yang berkarakter, kompeten serta memiliki literasi untuk meluaskan wawasannya, wawasan keimanan, toleransi dan kebangsaan.
Dakwah kontekstual wajib nyambung dengan realitas hukum dan memberi solusi progresif dan bukan semata bersifat normatif dengan kemunafikan dan ketakutan yang bersembunyi dibalik kesabaran dan keluhuran hidup.
Saat ini, terasakan bahwa sebagian dakwah melahirkan keracunan pikiran positif, seolah olah kesabaran adalah jawaban mutlak atas ketidakadilan. Padahal, sabar yang membiarkan penindasan bukanlah kebajikan, tetapi serupa kemunafikan yang berselimut doa. Kita butuh bergeser menuju pemikiran kritis produktif, yang berani berkata benar, dengan cara yang arif, demi membangun masyarakat sadar hukum.
Indonesia memerlukan dakwah yang terintegrasi dengan kebangsaan. Pendakwahnya memakai Pancasila sebagai dasar pijakan, sebagai nilai hidup, bukan sekadar dokumen negara, Dakwah tematik, memerangi korupsi, narkoba, terorisme, sekaligus membangun persatuan. Ajakan yang membebaskan, bukan membelenggu.
Diperlukan visi dan misi bersama, dirumuskan dengan melibatkan masyarakat dan berbagai keahlian yang dijaga dengan nilai luhur bangsa, kegotongroyongan Pancasila. Pendakwah wajib menerima Pancasila sebagai dasar berbangsa. Dengan demikian dakwah menjadi paripurna, tak terfragmentasi dan digaungkan sama oleh semua dengan narasi khas masing masing
Pendidikan pesantren, sekolah agama sampai perguruan tinggi, selayaknya dijadikan pusat kaderisasi patriot spiritualis, orang-orang yang jujur, berani, berilmu, dan rendah hati, sehingga pantas sekaligus tepat berbicara tentang solusi realitas sosial dan hukum yang nyata terjadi, Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi transformasi jiwa, agar lahir generasi yang tak hanya pandai berdoa, tetapi juga peka terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan peradaban.
Pemerintah perlu hadir sebagai mitra dan bukan pengendali belaka, Dibutuhkan kerjasama yang setara, terbuka, saling menguatkan, sebagai awal gerakan dakwah kebangsaan, menyerukan anti korupsi, disiplin berlalu lintas, melawan judi online, narkoba, dan terorisme, dengan narasi spiritual membebaskan. Kita bisa membangun bangsa religius sekaligus beradab, beriman dan berkeadilan. Itulah puncak dakwah paripurna.
Banjarmasin
20072025
0 Komentar